desabatubulan.com
berita kesehataninfo kesehatan

Merawat Darah, Menjaga Harapan: Thalassemia dan Perjuangan yang Tak Terlihat

30views

infokesehatanThalassemia adalah sebuah penyakit kelainan darah yang diwariskan secara genetik dari orang tua ke anak. Penyakit ini memengaruhi kemampuan tubuh dalam membentuk hemoglobin secara normal, yaitu protein penting dalam sel darah merah yang bertugas mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Jika hemoglobin tidak diproduksi dengan baik, maka suplai oksigen ke jaringan tubuh menjadi terganggu, dan ini menyebabkan berbagai masalah kesehatan seperti kelelahan kronis, kulit pucat, serta pertumbuhan yang terhambat.

Thalassemia bukan penyakit menular. Banyak orang bahkan tidak tahu bahwa mereka membawa sifat genetik ini, karena tidak selalu menunjukkan gejala. Namun, jika dua orang pembawa sifat menikah dan memiliki anak, maka ada kemungkinan besar anak tersebut akan menderita thalassemia mayor, bentuk paling parah dari penyakit ini.

Dari Sejarah ke Genetika: Menelusuri Akar Thalassemia

Thalassemia pertama kali diidentifikasi oleh Dr. Thomas Cooley pada tahun 1925 pada anak-anak keturunan Mediterania. Di Indonesia, kasus thalassemia sudah ada sejak zaman kolonial, namun baru mendapatkan perhatian serius dalam beberapa dekade terakhir. Penyakit ini banyak ditemukan di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, karena memang prevalensinya lebih tinggi di wilayah tropis.

Penyakit ini bersifat autosomal resesif, artinya hanya akan muncul jika seseorang mewarisi dua gen abnormal, satu dari ayah dan satu dari ibu. Jika hanya satu gen yang bermasalah, maka orang tersebut menjadi carrier dan umumnya tidak menunjukkan gejala yang signifikan.

Jenis-Jenis Thalassemia dan Bagaimana Mereka Mempengaruhi Tubuh

Secara umum, thalassemia dibagi menjadi dua tipe utama: alfa dan beta, tergantung pada rantai protein hemoglobin yang terpengaruh. Pada thalassemia alfa, mutasi terjadi pada gen pembentuk rantai alfa hemoglobin, dan pada thalassemia beta, mutasinya terjadi pada rantai beta.

Thalassemia beta mayor adalah bentuk paling berat yang memerlukan transfusi darah rutin seumur hidup. Anak-anak dengan kondisi ini biasanya menunjukkan gejala anemia berat sejak usia dini—kulit pucat, lesu, dan sering kali mengalami pembesaran limpa dan hati. Selain itu, bentuk wajah mereka bisa berubah akibat perluasan sumsum tulang yang berusaha memproduksi lebih banyak sel darah.

Saat Hemoglobin Tak Lengkap: Dampak Fisik dan Psikologis

Ketika tubuh kekurangan hemoglobin normal, penderita tidak hanya mengalami gangguan fisik seperti kelelahan, tetapi juga dampak psikologis yang mendalam. Anak-anak dengan thalassemia mayor sering kali tumbuh lebih lambat dibanding teman sebayanya, mengalami keterlambatan pubertas, dan harus absen dari sekolah karena harus menjalani transfusi darah secara rutin.

Secara emosional, mereka juga bisa merasa berbeda atau bahkan dikucilkan, apalagi jika tidak ada pemahaman yang baik dari lingkungan sosial mereka. Oleh karena itu, dukungan moral dan edukasi publik sangat penting dalam meningkatkan kualitas hidup penderita.

Transfusi Seumur Hidup: Realitas Pahit Para Penyintas

Salah satu kenyataan pahit yang harus di hadapi penyintas thalassemia mayor adalah ketergantungan mereka pada transfusi darah. Ini adalah satu-satunya cara agar tubuh mereka tetap bisa mendapatkan suplai darah yang cukup. Transfusi biasanya dilakukan setiap tiga hingga empat minggu sekali dan tidak bisa dilewatkan.

Namun, transfusi darah yang berulang menyebabkan penumpukan zat besi dalam tubuh. Zat besi ini, jika tidak di keluarkan, dapat merusak organ-organ penting seperti jantung dan hati. Untuk mengatasi hal ini, penderita harus rutin mengonsumsi obat kelator zat besi, yang juga bisa menimbulkan efek samping dan memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Tantangan Obat dan Penumpukan Zat Besi di Tubuh

Penumpukan zat besi adalah salah satu efek samping utama dari transfusi jangka panjang. Zat besi yang berlebih bisa mengendap di jantung, hati, dan organ endokrin, menyebabkan komplikasi seperti di abetes, gangguan jantung, bahkan kematian dini. Pengobatan dengan obat kelator zat besi seperti deferasirox sangat penting, tetapi efek sampingnya seperti mual, muntah, dan gangguan ginjal membuat banyak pasien kesulitan menjalaninya.

Belum lagi, akses terhadap obat ini belum merata di seluruh Indonesia. Pasien dari daerah terpencil sering kali harus menempuh perjalanan jauh hanya untuk mengambil obat atau menjalani transfusi, sesuatu yang menguras energi, biaya, dan emosi.

Perawatan Modern dan Harapan Baru dari Terapi Genetik

Di tengah keterbatasan itu, dunia medis terus mengembangkan harapan baru. Salah satunya adalah transplantasi sumsum tulang, yang sejauh ini menjadi satu-satunya pengobatan yang bisa menyembuhkan thalassemia secara permanen. Namun, prosedur ini membutuhkan donor yang cocok secara genetik, biasanya saudara kandung, dan biayanya sangat mahal.

Selain itu, terapi gen juga mulai di kembangkan. Melalui teknologi CRISPR, para ilmuwan kini mencoba mengedit gen penderita untuk mengembalikan fungsi hemoglobin secara normal. Beberapa uji klinis di luar negeri menunjukkan hasil yang menjanjikan. Jika suatu hari terapi ini tersedia secara luas dan terjangkau, thalassemia mungkin bukan lagi vonis seumur hidup.

Pentingnya Skrining Pranikah: Mencegah Lebih Baik daripada Mengobati

Karena thalassemia adalah penyakit genetik, maka pencegahan terbaik adalah melalui skrining. Pemeriksaan darah sebelum menikah bisa mendeteksi apakah seseorang adalah pembawa sifat thalassemia. Jika dua carrier menikah, maka risiko melahirkan anak dengan thalassemia mayor menjadi 25%.

Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah mendorong program ini di beberapa daerah, namun belum merata. Padahal, dengan biaya yang relatif murah, skrining bisa menyelamatkan masa depan generasi mendatang dari beban penyakit kronis ini. Edukasi publik, terutama pada remaja dan pasangan muda, harus terus di galakkan agar mereka tidak mengambil risiko tanpa tahu kondisi genetiknya.

Suara dari Lapangan: Kisah Inspiratif Pejuang Thalassemia

Di balik statistik dan istilah medis, ada kisah nyata yang menyentuh hati. Salah satunya adalah Dinda, seorang penyintas thalassemia dari Surabaya yang kini menjadi relawan edukasi thalassemia di sekolah-sekolah. Meski tubuhnya sering lemah dan harus transfusi setiap bulan, semangatnya tak pernah padam. Ia membagikan kisah hidupnya di media sosial, mengedukasi ribuan orang tentang pentingnya tes darah sebelum menikah.

Dinda bukan satu-satunya. Banyak pejuang thalassemia lainnya yang berhasil kuliah, bekerja, bahkan membangun keluarga. Mereka adalah bukti bahwa dengan dukungan yang tepat, thalassemia bukan akhir dari segalanya.

Dukungan Emosional dan Komunitas: Tulang Punggung Kehidupan Mereka

Tak bisa di pungkiri, salah satu kekuatan terbesar penderita thalassemia berasal dari dukungan komunitas. Komunitas seperti Yayasan Thalassemia Indonesia atau forum-forum online memberikan ruang bagi para pasien untuk berbagi cerita, saling menguatkan, dan mendapat informasi medis yang terpercaya. Dukungan emosional ini membantu mereka merasa tidak sendiri dalam perjalanan panjang hidup yang penuh tantangan.

Keluarga dan sahabat juga memainkan peran penting. Dengan pengertian dan kasih sayang, mereka bisa menjadi sistem pendukung yang kuat, membantu penderita menjalani hari-hari berat dengan lebih ringan.

Merawat Darah, Menjaga Harapan untuk Masa Depan yang Lebih Cerah

Thalassemia memang bukan penyakit biasa. Ia datang diam-diam, di wariskan tanpa permisi, dan tinggal seumur hidup. Tapi melalui pemahaman yang mendalam, edukasi yang luas, dan dukungan sosial yang kuat, kita bisa mengubah cara kita memandangnya. Thalassemia bukan lagi tentang penderitaan, tapi tentang keberanian, perjuangan, dan harapan.

Dengan mengenal lebih dalam tentang penyakit ini, kita tidak hanya membantu para penyintas, tapi juga menjaga generasi mendatang dari risiko yang tak perlu. Mari mulai dari langkah kecil: kenali, periksa, dan sebarkan informasi. Karena di setiap tetes darah yang kita rawat, ada harapan yang bisa kita jaga bersama.

Leave a Response