desabatubulan.com
Gaya Hidup Sehatinfo kesehatan

Doomscrolling dan Serangan Diam – Diam ke Otak: Ancaman Baru di Era Digital

12views

infokesehatanDalam dunia yang dipenuhi notifikasi, berita viral, dan algoritma tanpa henti, kita sedang hidup dalam banjir informasi yang sulit dikendalikan. Di antara ribuan informasi yang lalu-lalang di layar ponsel, muncul satu fenomena baru yang mulai menyita perhatian ahli kesehatan mental: doomscrolling. Ini adalah kebiasaan yang diam – diam merusak cara kita berpikir, merasa, dan menjalani hari-hari.

Doomscrolling - Health BeatHealth Beat

Doomscrolling merujuk pada kebiasaan seseorang yang secara kompulsif terus membaca berita buruk, terutama melalui media sosial dan portal berita, bahkan ketika informasi tersebut justru menimbulkan kecemasan, ketakutan, atau rasa lelah mental. Meskipun awalnya tampak seperti “sekadar membaca berita”, doomscrolling ternyata melibatkan respons psikologis dan neurologis yang sangat kompleks.


Mengapa Kita Terjebak dalam Doomscrolling?

Tubuh manusia memiliki sistem pertahanan alami terhadap ancaman: negativity bias. Ini adalah kecenderungan otak kita untuk memberi perhatian lebih besar terhadap informasi negatif dibandingkan yang positif. Di masa lalu, bias ini berguna sebagai mekanisme bertahan hidup—menghindari bahaya lebih penting daripada mengejar kesenangan. Namun dalam konteks digital, bias ini berubah menjadi bumerang.

Ketika kita melihat berita tentang bencana, konflik politik, ekonomi yang memburuk, atau bahkan komentar pedas di media sosial, otak merespons dengan rasa penasaran dan kewaspadaan yang berlebihan. Alih-alih berhenti, kita malah terdorong untuk terus mencari — seolah-olah membaca lebih banyak akan membantu kita merasa lebih siap menghadapi dunia yang kacau. Inilah jebakan terbesar doomscrolling: memberi ilusi bahwa kita sedang mengambil kendali, padahal sebetulnya, kita justru kehilangan kendali atas pikiran sendiri.


Dopamin dan Ilusi Kendali

Di balik layar ponsel, ada kerja halus dari zat kimia di otak bernama dopamin. Setiap kali kita menggulir layar dan menemukan informasi baru — meskipun isinya mengganggu — otak melepaskan sedikit dopamin, memberikan sensasi “reward” atau kepuasan sesaat. Inilah yang membuat doomscrolling bersifat adiktif.

Kita merasa seperti mendapatkan sesuatu yang penting, padahal yang kita serap adalah kumpulan berita negatif yang memperburuk suasana hati. Sensasi semu ini membuat otak sulit membedakan antara kebutuhan informasi dan kebiasaan destruktif. Seiring waktu, otak mulai terbiasa dengan asupan informasi negatif yang terus-menerus, membentuk pola yang semakin sulit diputus.


Apa Dampaknya pada Otak?

Doomscrolling memiliki dampak yang nyata dan serius terhadap kesehatan otak. Ketika kita terus-menerus terpapar berita yang menimbulkan rasa takut, marah, atau khawatir, otak kita bereaksi dengan memproduksi hormon stres, seperti kortisol. Dalam jangka pendek, ini menimbulkan ketegangan, sulit tidur, atau mudah marah. Namun dalam jangka panjang, stres kronis akibat doomscrolling bisa memicu kelelahan otak (mental fatigue), menurunkan kemampuan fokus, serta mengganggu kemampuan otak dalam mengambil keputusan rasional.

Bagian otak yang paling terpengaruh adalah korteks prefrontal, yaitu pusat kendali untuk logika, empati, dan pengendalian diri. Saat overstimulasi terjadi, bagian ini tidak mampu bekerja optimal. Akibatnya, kita menjadi lebih impulsif, emosional, dan sulit berpikir jernih. Di sisi lain, sistem limbik yang mengatur emosi seperti rasa takut menjadi terlalu aktif. Kombinasi ini menyebabkan peningkatan kecemasan, perasaan terjebak, dan dalam beberapa kasus, bisa memperburuk depresi.


Siapa yang Paling Rentan?

Tidak semua orang mengalami dampak yang sama dari doomscrolling. Namun, ada kelompok tertentu yang lebih rentan. Remaja dan mahasiswa, misalnya, memiliki struktur otak yang masih berkembang, sehingga lebih mudah terdistraksi dan terpengaruh. Mereka juga lebih sering menggunakan media sosial, yang merupakan “lahan subur” untuk konten negatif viral.

Pekerja digital, freelancer, dan remote worker juga sering terjebak dalam kebiasaan ini karena mereka bekerja dengan layar setiap hari, dan informasi adalah bagian dari rutinitas. Sementara itu, ibu rumah tangga dan lansia yang menghabiskan banyak waktu di rumah cenderung menjadikan ponsel sebagai teman utama, menjadikan doomscrolling sebagai “pelarian diam – diam” yang tak mereka sadari.


Doomscrolling dan Kesepian Digital

Yang sering tak disadari adalah bahwa doomscrolling juga memperkuat rasa kesepian. Di saat kita terpaku pada layar, kita kehilangan waktu untuk berinteraksi dengan orang lain secara nyata. Kita merasa “terhubung” lewat informasi, tetapi kenyataannya kita makin jauh dari empati sosial. Otak yang seharusnya mendapatkan stimulus positif dari hubungan antar manusia, malah disuguhi ketakutan dan kejengkelan dari dunia maya.

Hubungan sosial yang sehat adalah bagian penting dari stabilitas mental. Ketika informasi negatif terus-menerus masuk tanpa diimbangi dengan interaksi positif, otak mengalami overload emosional. Kita pun menjadi lebih mudah merasa tidak berdaya, marah tanpa alasan, dan bahkan menghindari aktivitas yang dulu menyenangkan.


Langkah Realistis untuk Menghentikan Doomscrolling

Menghentikan doomscrolling bukan soal berhenti total dari internet, tapi tentang mengambil kembali kendali atas cara kita menggunakan waktu dan perhatian.

  • Batasi waktu layar, terutama sebelum tidur. Cahaya biru dari layar dan paparan berita berat sebelum tidur terbukti mengganggu pola tidur alami.

  • Pilih sumber informasi yang terpercaya dan sehat. Berlangganan satu atau dua sumber berita harian yang tidak terlalu sensasional bisa mengurangi kecanduan update negatif.

  • Nonaktifkan notifikasi media sosial dan berita yang tidak relevan. Jangan biarkan teknologi memanggilmu setiap saat.

  • Ganti kebiasaan scrolling dengan aktivitas yang memperkuat koneksi dengan diri sendiri — seperti menulis jurnal, membaca buku, atau sekadar berjalan kaki di alam terbuka.

  • Latih kesadaran diri melalui meditasi atau teknik pernapasan. Ini bukan sekadar gaya hidup, tapi pelindung mental.


Saatnya Detoks Informasi

Tubuh kita tidak akan tahan jika terus diberi makanan tidak sehat, begitu pula otak. Doomscrolling adalah bentuk konsumsi berlebihan terhadap “junk information” yang tidak menyehatkan secara emosional. Kita perlu menyadari bahwa kesehatan mental butuh ruang — ruang yang bersih dari informasi beracun.

Detoks informasi bukan berarti menjadi anti-sosial atau tidak peduli dunia, tapi memberi ruang bagi otak untuk bernapas. Seperti tubuh yang butuh istirahat dari makanan berat, otak pun perlu rehat dari arus informasi yang tak kunjung usai.


Kendalikan Layar, Lindungi Pikiran

Doomscrolling dan Serangan Diam – Diam ke Otak bukan sekadar istilah kekinian. Ini adalah tanda zaman, di mana informasi bisa menjadi pisau bermata dua. Jika kita tidak bijak mengatur bagaimana dan kapan mengonsumsi informasi, maka kesehatan mental yang akan jadi korbannya.

Kendalikan layar sebelum layar mengendalikanmu. Ingat bahwa tidak semua yang viral itu penting, dan tidak semua kabar buruk harus kamu tahu. Pikiran yang sehat butuh ketenangan, bukan kabar buruk tanpa henti.

Leave a Response